Selamat datang di Suara Indonesian sebuah blog tentang segala informasi mengenai Indonesia dengan segala perkembangannya, semoga blog ini bisa menambah sedikit wawasan anda.

Mohon kritik & saran berkaitan dengan penulisan artikel blog ini.

Terima kasih.

Maju Terus Indonesia!!

Apa yang Membuat Kita Marah pada Malaysia?

VIVAnews - Alih-alih kian mesra, hubungan dua negeri jiran, Malaysia dan Indonesia justru mengalami kemunduran. Lihat saja sejumlah komentar emosional yang beredar di dunia maya.

Salah satunya, "Lakukan apa yang kalian bisa lakukan untuk hancurkan Malaysia, wahai rakyat Indonesia", sampai anjuran konfrontasi seperti "Ganyang Malaysia".

Kombinasi ekspresi kemarahan warga Indonesia dan serangan terhadap situs-situs di dunia maya, seakan menunjukan warga republik siap angkat senjata dan berperang. Yang jadi pertanyaan, apa yang sebenarnya dirasakan masyarakat Indonesia terhadap Malaysia. Benarkah kita semarah itu?



Seperti dimuat laman New Straits Times, Minggu 6 September 2009, mantan President Perhumpunan Mahasiswa Indonesia di Malaysia, Muhamad Iqbal, yang saat ini sedang menempuh doktoral di Universitas Kebangsaan Malaysia, mengatakan kondisi saat ini dipicu kesalahpahaman. Media dan kelompok-kelompok tertentu makin menyulut permasalahan.

Menurut Iqbal, kemarahan masyarakat Indonesia kerap dipicu 'masalah sepele' semisal dugaan klaim Tari Pendet dan kontroversi rumah tangga Manohara Odelia Pinot.

Masalah-masalah itu langsung tak langsung mempengaruhi hubungan dua negara. "Kita harus memisahkan masalah yang riil seperti Ambalat dan masalah buruh migran dengan masalah lainnya," kata Iqbal.

Kata Iqbal, isu Ambalat dan TKI menimbulkan kebencian mendalam bagi masyarakat Indonesia. Sementara, persoalan Manohara, Pendet, ikut memanaskan situasi.

Meski teruk, Iqbal tetap yakin hubungan dua negara akan membaik dan tercipta adanya ikatan kultural dan rasa saling percaya antara Malaysia dan Indonesia.

Salah satunya ditunjukan pasca gempa dasyat Tasikmalaya yang membawa duka bagi Indonesia. "Malaysia telah menunjukan sikap peduli dan membantu tetangganya yang diterpa musibah. Ini akan selalu mengingatkan kita bahwa selalu ada niat baik antar dua negara," tambah dia.

Sementara, Nasrullah Ali Fauzi, mahasiswa doktoral asal Indonesia yang menulis thesis tentang hubungan Indonesia-Malaysia salah satu penyebab konflik dua bangsa adalah fakta bahwa kesadaran ikatan sejarah dan budaya dua negara tak dimiliki generasi muda.

Kesalahpamahan kerap terjadi, karena dua bangsa tak peduli dan tak mengerti kompleksitas kesamaan dan perbedaan dua negara.

"Contohnya, penggunaan sebutan 'Indon' yang menghina warga Indonesia. Sebutan ini merujuk pada stereotipe bahwa orang Indonesia sombong, arogan, dan emosional. Istilah itu juga menunjuk pekerja migran asal Indonesia yang dituding membawa masalah, penyakit, dan kerap melakukan tindak kriminal," kata dia.

Orang Malaysia, tambah Nasrullah, juga menganggap orang Indonesia tak tahu terimakasih, padahal sudah banyak dibantu Malaysia.

Di sisi lain, warga Indonesia yang tak terima gantian menyebut orang Malaysia dengan sebutan 'Malingsia', yang juga menghina.

"Di mata orang Indonesia, orang Malaysia itu sombong, arogan, penyiksa dan licik memperlakukan TKI. Padahal, tranpa TKI, Malaysia tak akan sesukses sekarang," tambah dia.

Peran media kembali dikritik. Nasrullah menilai media di Indonesia terlalu independen dan sering mencari-cari berita sensasional. "Disisi lain media di Malaysia justru terlalu bertanggungjawab dan hanya melaporkan berita baik, juga termasuk sisi negatif TKI. Sikap media seperti itu makin memanaskan hubungan dua negara," tambah Nasrullah.

Ditambahkan dia, akar permasalahan dua negara harus diselesaikan, atau setidaknya diredakan. "Harus ada agenda untuk mengintensifkan komunikasi interkultural antar dua negara, terutama generasi muda.

Sebenarnya usaha dialog itu sudah dilakukan mahasiswa RI di Malaysia. Namun, Mahasiswa Malaysia tak gemar berdiskusi.

Sementara, pengacara dan penulis Malaysia, Karim Raslan mengatakan meski punya akar sama, dua negara sangat berbeda. Indonesia lebih revolusioner sementara Malaysia lebih evolusioner.

Perbedaan itu bisa dilihat dari karakter mahasiswa dua negara. "Mahasiswa Indonesia, tak seperti di malaysia menikmati kebebasan," kata dia.Itulah mengapa, kehidupan mahasiswa di Univesitas Indonesia maupun Universitas Gadjah Mada, misalnya, lebih dinamis.

Karim percaya masalah dua bangsa tak akan selesai sampai Malaysia belajar dari pengalaman Indonesia. Selama ini, kata dia, Malaysia tak pernah tertarik dan tak ingin belajar tetang perubahan di Indonesia. " Kami selalu merasa sebagai pusat dunia, kami tak merasa harus berubah."




Sumber: VIVAnews



Baca juga artikel dibawah ini:



0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan Tinggalkan Komentar Anda Dibawah ini